Menikmati saat-saat Tenggelam Dan Ditenggelamkan Bersama dengan batu karang menikmati elusan ombak Ditemani ikan-ikan kecil yang berkerumun di bawah rumput laut bergerak bebas sealur dengan kehendak air samudera
Welcome To Esrtuary
"Assalamu'alaikum ya Sobakhul Khoir"
Selasa, 08 November 2011
Wali Allah Menurut Hakim At-Tirmidzi
Hakim at-Tirmidzi lahir di Tirmidz, Uzbekistan, Asia Tengah pada tahun
205 H/820 M. Nama lengkapnya adalah Abu Abd Allah Muhammad bin Ali bin
Hasan al-Hakim at-Tirmidzi. Ia berasal dari keluarga ilmuwan ahli fiqih
dan hadits. Memasuki puncak ketasawufan setelah mengalami goncangan
batin sebagaimana yang di kemudian hari dialami al-Ghazali. Ia
mendefinisikan Wali Allah adalah seorang yang demikian kokoh di dalam
peringkat kedekatannya kepada Allah (fi martabtih), memenuhi
persyaratan-persyaratan tertentu seperti bersikap shidq (jujur dan
benar) dalam perilakunya, sabar dalam ketaatan kepada Allah, menunaikan
segala kewajiban, menjaga hukum dan perundang-undangan (al-hudud) Allah,
mempertahankan posisi (al-) kedekatannya kepada Allah. Dalam keadaan
ini, menurut at-Tirmidzi, seorang wali mengalami kenaikan peringkat
sehingga berada pada posisi yang demikian dekat dengan Allah, kemudian
ia berada di hadapan-Nya, dan menyibukkan diri dengan Allah sehingga
lupa dari segala sesuatu selain Allah.
Karena kedekatannya dengan Allah, seorang wali memperoleh ‘ishmah
(pemeliharaan) dan karamah (kemuliaan) dari Allah. menurutnya, ada tiga
jenis ‘ishmah dalam Islam. Pertama, ‘ishmah al-anbiya’ (ishmah para
Nabi) merupakan sesuatu yang wajib; baik berdasarkan argumentasi
‘aqliyyah seperti dikemukakan Mu’tazilah maupun berdasarkan argumentasi
sam‘iyyah. Kedua, ‘ishmah al-awliya’ (merupakan sesuatu yang mungkin);
tidak ada keharusan untuk menetapkan ‘ishmah bagi para wali dan tidak
berdosa untuk menafikannya dari diri mereka, tidak juga termasuk ke
dalam keyakinan agama (‘aqa’id al-din); melainkan merupakan karamah dari
Allah kepada mereka. Allah melimpahkan ‘ishmah ke dalam hati siapa saja
yang dikehendaki-Nya di antara mereka. Ketiga, ‘ishmah al-‘ammah,
‘ishmah secara umum , melalui jalan al-asbab, sebab-sebab tertentu yang
menjadikan seseorang terpelihara dari perbuatan maksiat.
‘Ishmah yang dimiliki para wali dan orang-orang beriman, menurut
at-Tirmidzi, bertingkat-tingkat. Bagi umumnya orang-orang yang beriman,
‘ishmah berarti terpelihara dari kekufuran dan dari terus menerus
berbuat dosa; sedangkan bagi para wali ‘ishmah berarti terjaga (mahfuzh)
dari kesalahan sesuai dengan derajat, jenjang, dan maqamat mereka.
Masing-masing mereka mendapatkan ‘ishmah sesuai dengan peringkat
kewaliannya. Inti pengertian ‘ishmah al-awliya’ terletak pada makna
al-hirasah (pengawasan), berupa cahaya ‘ishmah (anwar al-ishmah) yang
menyinari relung jiwa (hanaya al-nafs) dan berbagai gejala yang muncul
dari kedalaman al-nafs, tempat persembunyian al-nafs (makamin al-nafs),
sehingga al-nafs tidak menemukan jalan untuk mengambil bagian dalam
aktivitas seorang wali. Ia dalam keadaan suci dan tidak tercemari
berbagai kotoran al-nafs ( adnas al-nafs ).
Adapun yang dimaksud karamah al-awliya’ tiada lain, kemuliaan,
kehormatan,(al-ikram); penghargaan (al-taqdir); dan persahabatan
(al-wala) yang dimiliki para wali Allah berkat penghargaan, kecintaan
dan pertolongan Allah kepada mereka. Karamah al-awliya itu, dalam
pandangan Hakim at-Tirmidzi, merupakan salah satu ciri para wali secara
lahiriah (‘alamat al-awliya’ fi al-zhahir) yang juga dinamakannya
al-ayat atau tanda-tanda.
Hakim at-Tirmidzi membagi karamat al-awliya ke dalam dua bagian.
Pertama, karamah yang bersifat ma‘nawi atau al-karamat al-ma‘nawiyyah.
Karamah yang pertama merupakan sesuatu yang bertentangan dengan adat
kebiasaan secara fisik-inderawi, seperti kemampuan seseorang unrtuk
berjalan di atas air atau berjalan di udara. Sedangkan karamah yang
kedua merupakan ke-istiqamah-an seorang hamba di dalam menjalin hubungan
dengan Allah, baik secara lahiriah maupun secara batiniah yang
menyebabkan hijab tersingkap dari kalbunya hingga ia mengenal
kekasihnya, serta merasa ketentraman dengan Allah. At-Tirmidzi
memaparkan karamah yang kedua sebagai yang berikut:
Kemudian Tuhan memandang wali Allah dengan pandangan rahmat. Maka Tuhan
pun dari perbendaharaan rububiyyah menaburkan karamah yang bersifat
khusus kepadanya sehingga ia (wali Allah) itu berada pada maqam hakikat
kehambaan (al-haqiqah al-ubudiyyah). Kemudian Tuhan pun mendekatkan
kepada-Nya, memanggilnya, menghormati dan meninggikannya. Menyayanginya
dan menyerunya. Maka wali pun menghampiri Tuhan ketika ia mendengar
seru-Nya. Mengokohkan (posisi)-nya dan menguatkannya; memelihara dan
menolongnya; sehingga ia meresponi dan menyambut seruan-Nya. Dalam
kesunyian ia memanggil-Nya. Setiap saat ia munajat kepada-Nya. Ia pun
memanggil kekasihnya. Ia tidak mengenal Tuhan selain Allah.
Orang yang menolak karamah al-awliya’, menurut at-Tirmidzi, disebabkan
mereka tidak mengetahui persoalan ini kecuali kulitnya saja. Mereka
tidak mengetahui perlakuan Allah terhadap para wali. Sekiranya orang
tersebut mengetahui hal-ihwal para wali dan perlakuan Allah terhadap
mereka; niscaya mereka tidak akan menolaknya. Penolakan mereka terhadap
karamah al-awliya’, menurut at-Tirmidzi, disebabkan oleh kadar akses
mereka terhadap Allah hanya sebatas menegaskan-Nya; bersungguh-sungguh
di dalam mewujudkan kejujuran (al-shidq); bersikap benar dalam
mewujudkan kesungguhan sehingga meraih posisi al-qurbah (dekat dengan
Allah). Sementara mereka buta terhadap karunia dan akses Allah kepada
hamba-hamba pilihan-Nya. Demikian juga buta terhadap cinta (mahabbah)
dan kelembutan (ra’fah) Allah kepada para wali. Apabila mereka mendengar
sedikit tentang hal ini, mereka bingung dan menolaknya.
Adapun derajat kewalian, dalam pandangan al-Tirmidzi, dapat diraih
dengan terpadunya dua aspek penting, yakni karsa Allah kepada seorang
hamba dan kesungguhan pengabdian seorang kepada Allah. Aspek pertama
merupakan wewenang Allah secara mutlak; sedangkan aspek kedua merupakan
perjuangan seorang hamba dalam mendekatkan diri kepada Allah. Menurut
at-Tirmidzi, ada dua jalur yang biasa ditempuh oleh seorang sufi guna
meraih derajat kewalian. Jalur pertama disebut thariqah al-minnah (jalan
golongan yang mendapat anugerah) sedangkan jalur kedua disebut thariq
ashhab al-shidq (jalan golongan yang benar dalam beribadah). Melalui
jalur pertama, seorang sufi meraih derajat kewalian di hadapan Allah
semata-mata karena karunia Allah yang diberikan kepada siapa saja yang
dikendaki Allah di antara hamba-hamba-Nya. Sedangkan melalui jalur
kedua, seorang sufi meraih derajat kewalian berkat keikhlasan dan
kesungguhannya di dalam beribadah kepada Allah. Seseorang yang meraih
derajat kewalian melalui jalur kedua disebut wali haqq Allah atau
awliya’ huquq Allah dalam bentuk jamak.
Menurut at-Tirmidzi derajat kewalian yang diraih melalui jalur kedua
diperoleh setelah seorang sufi bertaubat dari segala dosa dan bertekad
bulat untuk membuktikan sesungguhan taubatnya dengan konsisten di dalam
menunaikan segala yang diwajibkan; menjaga al-hudud (hukum dan
perundang-undangan Allah) dan mengurangi al-mubahat (hal-hal yang
dibolehkan); kemudian memperhatikan aspek batin dan menjaga kesuciannya
dengan seksama.
Seorang sufi yang meraih derajat kewalian (al-walayah) melalui jalur
kedua desebut wali haqq Allah, karena sufi itu telah mencurahkan seluruh
perhatian dan usahanya untuk menjaga hak Allah. Perjuangan yang
demikian berat ini telah menambah kesucian hati sufi tersebut. Hatinya
menjadi terformat sedemikian rupa dengan sifat Allah al-Haqq sehingga
al-Haqq menjadi salah satu sifatnya yang mendominasi perasaannya yang
terdalam (al-wujdan) dan membimbing seluruh perilakunya. Tidaklah
seorang sufi itu mengucapkan sesuatu kecuali melalui Allah al-Haqq;
tidaklah melakukan sesuatu kecuali menuju Allah al-Haqq; dan tidaklah
dia diam kecuali bersama Allah al-Haqq. Maka al-Haqq senantiasa
bersama-Nya dalam berbagai keadaan. Para wali yang memiliki kualifikasi
ini disebut juga al-awliya al-shadiqin.
Sementara itu, memperoleh derajat al-walayah melalui jalur pertama,
thariqah al-Minnah, terbagi kedalam dua proses. Pertama, anugerah
kewalian itu diperoleh dengan tanpa usaha sebelumnya. Melalui proses ini
orang yang menerima anugerah al-walayah merasakan adanya kekuatan yang
menarik dirinya kepada kualitas al-walayah tersebut. Para sufi yang
meraih derajat kewalian melalui proses ini disebut al-mujtabun (yang
diangkat) atau al-mujzubun (yang ditarik). Kedua, anugerah kewalian itu
diperoleh karena ada prakondisi sebelumnya. Derajat al-walayah yang
diberikan melalui proses kedua ini mengandung pengertian bahwa anugerah
al-walayah itu diberikan oleh Allah kepada seseorang yang telah berada
di dalam maqam al-shidq, suatu kedudukan terhormat di hadapan Allah yang
hanya bisa ditempati oleh para sufi yang telah memiliki kualifikasi
wali di antara al-awliya al-shadiqin. Hal ini terjadi semata-mata karena
kasih sayang Allah kepadanya.
Derajat kewalian dan kenabian, menurut at-Tirmidzi, merupakan anugerah
Allah. Allah telah memilih di antara hamba-hamba-Nya menjadi al-anbiya
(Nabi-Nabi) dan awliya (para wali). Kemudian Allah melebihkan derajat
sebagian al-anbiya atas sebagian yang lain. Sebagaimana Allah melebihkan
sebagian derajat al-awliya atas sebagian yang lain. Kelebihan Nabi
Muhammad SAW. atas para Nabi yang lain adalah kedudukannya sebagai
khatam al-nubuwwah yang merupakan hujjat Allah bagi makhluk-Nya pada
hari kiamat, karena tiada seorang pun di antara al-anbiya yang mendapat
kedudukan setinggi ini.
Hujjat Allah yang menjadi inti khatam al-nubuwwah tersebut tiada lain,
qadam shidq, yakni kesaksian Allah bahwa Nabi Muhammad SAW. memiliki
shidq al-‘ubudiyyah (kesungguhan dalam kehambaan). Dengan qadam shidq
tersebut Nabi Muhammad SAW. mendahului barisan para Nabi dan Rasul.
Kemudian Allah menyambutnya dan menempatkannya di dalam al-maqam
al-mahmud pada al-kursi. Dengan demikian para Nabi mengetahui bahwa Nabi
Muhammad SAW. adalah orang yamg paling mengenal Allah. Beliau diberi
bendera pujian (liwa al-hamd) dan kunci kemulian (mafatih al-karam).
Oleh sebab itu, khatam al-anbiyyin, menurut at-Tirmidzi, bukan karena
Nabi Muhammad SAW. paling akhir diutus; melainkan karena al-nubuwwah
telah sempurna secara total pada diri Nabi Muhammad SAW. sehingga dia
menjadi jantung kenabian (qalb al-nubuwwah) karena kesempurnaannya;
kemudian al-nubuwwah ditutup (pada diri beliau).
Bertitik tolak dari pandangannya tentang al-anbiya dan al-awliya,
at-Tirmidzi memandang bahwa khatam al-awliya (pamungkas para wali)
adalah al-wali al-majdzub yang memegang kepemimpinan (al-imamah) atas
para wali. Di tangannya terdapat bendera kewalian (liwa al-walayah).
Para wali seluruhnya membutuhkan syafa’at dari padanya; sebagaimana para
Nabi membutuhkan syafa’at dari Nabi Muhammad SAW. Ia memperoleh bagian
kenabian yang paling sempurna; sehingga ia dekat dengan al-anbiya;
bahkan hampir mendahuluinya; sebagaimana tergambar pada hadits yang
berikut:
Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah, ada orang yang bukan Nabi dan
bukan syuhada; namun, banyak Nabi dan syuhada yang ingin seperti mereka,
karena derajat mereka disisi Allah ‘Azza wa jalla.” Mereka bertanya,
“Wahai Rasulullah, siapakah mereka? Beliau bersabda: “Mereka adalah
suatu kaum yang saling mencintai dengan motivasi karena Allah; padahal
bukan di antara kerabat mereka, juga bukan karena harta yang saling
mereka berikan. Demi Allah, wajah mereka niscaya laksana cahaya, mereka
berada di atas cahaya. Mereka tidak merasa sedih, ketika orang-orang
bersedih. Kemudian beliau membacakan satu ayat:
(Q.S. Yunus: 62).
Maqam-nya (dihadapan Allah) berada pada peringkat tertinggi para wali
(fi a‘ala manazil al-awliya). Ia adalah pengikut Nabi Muhammad SAW. Maka
sebagaimana Nabi Muhammad SAW. menjadi hujjah bagi para Nabi; wali ini
pun menjadi hujjah bagi para wali (al-awliya). Kecuali itu, al-Hakim
at-Tirmidzi menghubungkan konsep khatam al-awliya dengan konsep manusia
sempurna. Menurutnya, khatam al-awliya ialah manusia yang telah mencapai
ma‘rifah yang sempurna tentang Tuhan. Dengan demikian, ia pun
mendapatkan cahaya dari Tuhan, bahkan mendapatkan quwwah ilahiyyah (daya
Ilahi). Menurut at-Tirmidzi, ada empat puluh orang dari kalangan umat
Nabi Muhammad SAW. yang mendapat kedudukan sebagai wali, satu di antara
empat puluh itu disebut khatam al-awliya sebagaimana Nabi Muhammad SAW.
menjadi khatam al-anbiya.
Sementara itu, Abu Yazid al-Busthami (w.264H/877M.) memperkenalkan
konsep al-wali al-kamil (wali yang sempurna). Menurutnya, wali yang
sempurna ialah orang yang telah mencapai ma‘rifah yang sempurna tentang
Tuhan, ia telah terbakar oleh api Tuhannya. Ma‘rifah yang sempurna akan
membawa seorang wali fana’ dalam sifat-sifat ketuhanan. Wali yang fana’
dalam nama Allah, al-zhahir (yang nyata), akan dapat menyaksikan qudrah
Tuhan; wali yang fana’ dalam nama-Nya, al-bathin (yang tersembunyi) akan
dapat menyaksikan rahasia-rahasia alam; wali yang fana’ dalam nama-Nya,
al-akhir (yang akhir), akan menyaksikan masa depan.
Kedudukan khatam al-awliya merupakan anugerah Allah. Allah memberikan
al-khatm (penutupan [kewalian]) kepadanya agar pada hari kiamat hati
Nabi Muhammad SAW. merasa tenteram. Para wali pun mengakui kelebihan
wali ini atas mereka. Ia muncul menjelang terjadinya kiamat dan menjadi
hujjat Allah bagi seluruh penganut paham monoteisme (al-muwahhidin) yang
datang sesudahnya.
Pemikiran al-Hikam at-Tirmidzi tentang khatm al-walayah lebih jauh
dikembangkan oleh Ibnu Arabi. Menurut Ibnu Arabi, konsep al-khatm
(penutupan) mengandung dua pengertian. Pertama, al-khatm berarti Allah
telah menutup kewalian secara umum (al-walayah al-ammah). Kedua,
al-khatm dalam pengertian Allah telah menutup kewalian umat Nabi
Muhammad SAW. (al-walayah al-muhammadiyah).
Khatm al-walayah dalam pengertian yang pertama berada pada diri Nabi Isa
as. Beliau adalah wali dengan kenabian mutlak (al-nubuwwah
al-muthlaqah) yang muncul pada zaman ummat (Nabi Muhammad) ini. Kewalian
Nabi Isa terputus dari nubuwwat al-tasyri’, yakni kenabian khusus
dengan kewenangan menetapkan syari’at agama dan kerasulannya. Nabi Isa
turun di akhir zaman sebagai pewaris (Nabi Muhammad SAW.). Dan khatam
[al-walayah] (pamungkas kewalian). Tidak ada wali sesudahnya dengan
kenabian mutlak sekalipun, sebagaimana Nabi Muhammad SAW. sebagai khatam
al-nubuwwah (pamungkas kenabian) tidak ada Nabi sesudah beliau dengan
nubuwwat al-tasyri’. Sedangkan khatam al-walayah dalam pengertian yang
kedua berada pada diri seorang laki-laki bangsa Arab dari kalangan
orang-orang terhormat.
Pengetahuan tentang syari’at (al- ilm al-syari’i) – yang menjadi dasar
nubuwwat al-tasyri’ diwahyukan kepada seorang Rasul melalui malaikat.
Sedangkan pengetahuan batin (al-‘ilm al-bathini) yang dimiliki wali,
baik dalam kapasitasnya sebagai Rasul, Nabi, maupun wali saja; bersifat
pancaran dari seorang khatam al-awliya. Adapun khatam al-awliya
mendapatkan secara menyeluruh dari sumber pancaran ruhaniah
(manba‘al-faydl al-ruhi); yakni ruh Muhammad atau al-haqiqah
al-Muhammadiyah.
Ibnu Arabi menghubungkan konsepsi khatam al-awliya dengan kemampuan
menangkap al-‘athaya (pemberian dan anugerah) Allah. Menurut Ibnu Arabi,
ada dua jenis al-‘athaya (pemberian) yakni yang bersifat dzatiyyah dan
yang bersifat asma’iyyah. Adapun al-‘athaya al-dzatiyyah tidak terjadi
kecuali melalui tajalli ilahi; sedangkan tajalli merupakan pengetahuan
tertinggi tentang Tuhan. Pengetahuan ini tidak diberikan kecuali kepada
khatam al-rusul (pamungkas para utusan) dan khatam al-awliya (pamungkas
para wali).
Tiada seorang pun di antara al-anbiya dan al-rusul dapat mengalami
tajalli al-dzat kecuali melalui misykah, teropong, khatam al-rusul; dan
tiada seorang pun al-awliya mengalami tajalli al-dzat kecuali melalui
misykah, teropong, khatam al-awliya bahkan al-anbiya dan al-rusul pun
tidak dapat mengalami tajalli al-dzat kecuali melalui misykat al-khatam
al-awliya’; meskipun khatam al-awliya merupakan pengikut khatam al-rusul
dalam syari’at yang dibawanya.
Dalam pandangan Ibnu Arabi, khatam al-anbiya mempunyai kedudukan yang
sebanding dengan khatam al-awliya. Menurutnya setiap Nabi sejak zaman
Nabi Adam hingga Nabi terakhir; tiada seorang pun di antara mereka,
kecuali mengambil dari misykat (teropong) khatam al-nabiyyin; meskipun
khatam al-nabiyyin tersebut secara historis muncul terakhir. Hal ini
sejalan dengan sabda Nabi Muhammad SAW.: Aku sudah menjadi Nabi;
sedangkan Adam di antara air dan tanah. Sedangkan para Nabi selain Nabi
Muhammad SAW. menjadi Nabi setelah mereka diutus (ke dunia).
emikian juga khatam al-awliya telah menjadi wali, ketika Adam masih
berada di antara air dan tanah; sedangkan para wali yang lain menjadi
wali setelah mereka memperoleh syarat-syarat kewalian (al-walayah),
yakni setelah diri mereka tersifati oleh al-akhlaq al-ilahiyyah atau
akhlak Tuhan, terutama berkenaan dengan pernyataan Allah sendiri yang
menyebut diri-Nya al-wali al-hamid (Wali yang Maha Terpuji).
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar